vote Indonesia now!

Posted by tris tecno Sabtu, 31 Mei 2008 0 komentar
berawal dari ajakan Bajay dan membaca beritanya dari blognya, mari kita sama-sama vote Indonesia di

new7wonders: Vote for the New 7 Wonders of Nature nominees


kita dikasih kesempatan untuk vote 7 nominasi. dan Indonesia masuk menjadi nominasinya. yang masuk itu:
- Lake Toba
- Krakatau, Volcanic Islands
- Komodo National Park, National Park


nah, kalo kamu ngaku cinta Indonesia, buru sekarang klik ke http://www.new7wonders.com terus vote ketiga dari nominasi itu, dan 4 nya boleh milih sendiri hihihi. jangan lupa klik email yang dari new7wondersnya ya, biar vote kamu dihitung.

Ayo Vote for Indonesia !

Sesuatu

Posted by tris tecno Selasa, 27 Mei 2008 0 komentar
Left unchanged,global warming is also self-reinforcing phenomenon.
when the sun ray's hit snow or ice,95 percent of the energy bounces off
and is reflected back into space.
But as the Arctic ice melt and the sunlight hits less ice
and more water or land,95 percent of the warmth is absorbed.
the water temperature rises;the ice recedes even farther;the cycle accelerates.
That is one key reason that global warming will not be evenly distributed;the temperature
rise is much greater at the poles than at the equator.A one-degree rise at the equator
can be matched by an eight-degree rise at the pole.

........"we can believe in that future and work to achieve it and preserve it or we can
whirl blindly on,behaving as if one day there will be no children to inherit our legacy."
(al gore dalam kata pengantar earth in the balance cetakan tahun1999)
earth in the balance.(1992).albert gore

Bumi telah berubah.kehidupan tidak lagi seindah apa yang kita rasakan di masa kecil kita.bahkan mungkin dimasa yang
hanya sekitar dekade saja,kita telah dapat melihat perbedaan yang sangat nyata.Udara yang kita hirup,air yang kita minum,matahari yang kita nikmati kehangatannya dipagi hari,semakin menampakkan perubahannya yang konstan dan tentu saja signifikan.
Apa yang dipaparkan oleh Al Gore diatas bukanlah isapan jempol.Kenyataan inilah yang sedang terjadi dan "akan" kita alami
dalam tahun-tahun dan dekade-dekade berikutnya dalam peningkatan toleransi yang memadai untuk setiap perubahan alami.
Seperti yang di uraikan Al,di baris pertama,global warming adalah sekaligus merupakan penguatan diri (atau meminjam istilah
dari fisikawan fritjof capra sebagai umpan balik positif) bagi bumi itu sendiri.Dalam bab-bab berikutnya Al memaparkan istilah termostat alami.Termostat alami ialah keadaan saat bumi mencapai derajat panas yang cukup tinggi sehingga memaksa bumi untuk mendinginkan
kembali atau dengan kata lain bumi bumi selalu berusaha untuk tetap berada dalam keadaan keseimbangan alaminya dengan menambah awan-awan hujan.Baik kapasitas maupun intensitasnya sudah dapat ditebak bila keadaan keseimbangan alaminya terganggu.Awan-awan tersebut akan berfungsi sebagai termostat(pengendali termal) alami bagi bumi.

20 tahun menuju benua salju raya

Beberapa riset mutakhir telah memaklumkan suatu kesepakatan baru bagi para pecinta alam dan juga gogreen lovers tentunya.
Bahwa daratan eropa diperkirakan dalam 20 tahun kedepan akan diselimuti oleh salju.
Kita tentu akan bertanya-tanya...mengapa dan bagaimana hal itu dapat terjadi?
Saat ini kita dapat melihat daratan Inggris raya yang aman dan damai itu,mengapa tidak seperti saudara-saudaranya yang juga berada
dalam posisi yang sama dalam garis globe.
Kanada,Rusia,dan bahkan yang lebih dekat lagi yaitu daratan skandinavia;norwegia,denmark dan islandia.
Mengapa Britania Raya beriklim tropis?
dan Kanada,Rusia,dan lainnya bersalju.
Hal ini terjadi akibat adanya perputaran(cycle) aliran air hangat menuju ke aliran air dingin yang ada dibawahnya.
Perputaran ini berkelok-kelok dan bermuara didekat daratan Inggris.
Telah maklum didalam ilmu fisika,bahwa energi yang dikeluarkan untuk perubahan temperatur lebih besar dibanding energi yang dikeluarkan untuk suara ataupun gerak(kinetik).
Kita bisa lihat dari apa yang kita alami sehari-hari.suhu tubuh normal kita berkisar diantara 37 derajat celcius dan ini sudah menjadi "trademark" bagi spesies manusia dimanapun.Lalu coba lihat apa yang terjadi jika suhu tersebut bertambah satu atau berkurang satu derajat.Yang terjadi kemudian adalah kita SAKIT!!!.
Itu pula yang "akan" dirasakan oleh bumi kita tercinta ini.
Jika pembuangan gas co2 masih terus berlanjut,penggundulan hutan masih terus berlanjut,pembakaran ladang,penimbunan metana dan cfc,hfc dan sejenisnya di atmofer masih berlanjut ditambah lagi dengan siklus sebelas tahunan "solarstorm" yang baru saja bermulai diawal tahun ini dan diperkirakan mencapai peak(puncak) solar maksimum pada 2011 nanti.
Demikian hanya akan menambah daftar panjang penyebab global warming yang telah terpampang demikian jelas didepan mata.
Hasil akhir dari semua itu adalah mencairnya es baik dikutub utara maupun dikutub selatan yang akan menghambat laju aliran dari cycle aliran air hangat menuju kealiran air dingin,yang notabene adalah air asin,seperti yang telah dibahas tadi.
dan tentunya eropa tertutup salju bukanlah hal yang terlalu sulit untuk dibayangkan,bukan!

natural hedonism,could it be...?

walk trough the earth surface
learn...how the past,passed "its" devastation.
Literatur keagamaan telah memberikan kita wawasan yang luar biasa bagi pengetahuan kita
tentang ummat-ummat dimasa lalu.Hal tersebut tercermin dalam penggalan alur-alur sejarah
yang telah termetafor dengan sempurna yang mungkin bahkan lebih dahsyat daripada apa
yang kita alami saat ini.
Zaman dimana keunggulan teknologi,yang bahkan harus menunggu
datangnya alien dari negeri astonodipurojoyonegoro untuk memberikan acknowledge,namun
disisi lain justru memberikan efek yang devastative bagi ruang lingkup tempat spesies itu menggantungkan
hidup.Apakah merupakan sebuah keunggulan mutlak bagi sebuah habitat?
Jika tidak,maka apakah tidak ada secuil harapan yang dapat didengar,bahwa didepan sana ada oase kehidupan
yang bergemayung mega yang justru menunggu setiap habitat yang ingin membersihkan diri dengan air sucinya.
seperti kata mahatma gandhi yang dikutip oleh AlGore,masih didalam earth in the balance.
"We must be the change we wish to see in the world."
Kita harus menjadi perubahan yang ingin kita lihat di muka bumi.
Perubahan yang bagaimanakah yang dapat kita terapkan ditengah menjamurnya hedonisme teknologi
dengan sampah lithiumnya.
Ditengah merebaknya budaya hedonisme konsumsi sekali pakai buang,dan beli lagi,ya untuk dibuang lagi.
Hedonisme yang telah mencengkeram kita hingga helaan nafas yang kita rasakan seperti mewakili
penyerahan kita akan segala hal yang terjadi.
Sampai titik ini kita baru menyadari bahwa ada,lebih tepatnya masih ada,yang dapat kita harapkan dari alam semesta
tempat kita hidup untuk menghujani kembali kekeringan kita selama bertahun-tahun.
Kekeringan yang tidak hanya mengisi tempat kosong dalam kalbu manusia
Namun juga membuat bumi menjerit dan merintih.
At last but not least,i'll give you a word
It's not a slogan..but it could be
stop earth warming


from ariefcute
e-mail:arief.cute86@gmail.com
blog:ariefcute.blogspot.com

Pencinta Alam Dan Paradigma Gerakan Lingkungan

Posted by tris tecno Minggu, 18 Mei 2008 0 komentar
Oleh Iden Wildensyah**

” jika ingin mengubah negara untuk kegiatan - kegiatan yang sulit tentang persoalan kebijakan politik, pencinta lingkungan menjadi sumber kekuatan dengan apa saja dapat dilakukan. Jika anda ingin mempunyai negara untuk kepentingan ekonomi, pikirkan diri anda dan generasi anda yang akan datang, saya yakin anda dapat melakukannya”

(Gerlorfd Nelson dalam catalyst conference speech university of Illionis, 1990)

Pencinta alam di Indonesia saat ini belum dirasakan sebagai salah satu akar gerakan lingkungan, terbukti dalam korelasinya saat ini dengan menjamurnya perhimpunan pencinta alam seiring pula dengan kerusakan yang tidak terkendali. Dimanakah letak penyimpangan ini karena keberadaan pencinta alam dalam tataran yang ideal dapat menumbuhkembangkan generasi yang peduli lingkungan. ini patut dikembangkan baik dalam pola gerakan maupun pengembangan organisasinya. Namun dalam tataran real tidak bisa di bedakan antara pencinta alam dan penggiat alam terbuka karena keduanya hampir tidak bisa dibedakan mana yang penggiat dan mana pencinta alam

Model gerakan lingkungan yang berasal dari pencinta alam pada periode kelahirannya lebih menekankan pada kecintaan terhadap alam yang diwujudkan dengan naik gunung, camping, pelatihan konservasi, dan penghijauan di lereng-lereng gunung. Selain kecintaan terhadap alam, mereka ornop dan sebagian pencinta alam masih terkonsentrasi pada model pembangunan. Karena mereka masih meyakini kebenaran model pembengunan berkelanjutan dengan standar kemajuan ekonomi yang sesungguhnya menimbulkan dampak.

Simpulan Paradigma

Dua nama, pencinta alam dan penggiat alam terbuka seolah-olah merupakan satu kesatuan utuh yang tidak bisa di pisahkan antara keduanya. Namun kalau dilihat secara etimologi kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia akan nampak kelihatan bahwa keduanya tidak ada hubungan satu sama lainnya.

Dalam KBBI, pecinta (alam) ialah orang yang sangat suka akan (alam), sedangkan petualang ialah orang yang suka mencari pengalaman yang sulit-sulit, berbahaya, mengandung resiko tinggi dsd. Dengan demikian, secara etimologi jelas disiratkan dimana keduanya memiliki arah dan tujuan yang berbeda, meskipun space, ruang gerak aktivitas yang dipergunakan keduanya sama, alam.

Dilain pihak, perbedaan itu tidak sebatas lingkup “istilah” saja, tetapi juga langkah yang dijalankan. Seorang pencinta alam lebih populer dengan gerakan enviromentalisme-nya, sementara itu, petualang lebih aktivitasnya lebih lekat dengan aktivitas-aktivitas petualangan seperti pendakian gunung, pemanjatan tebing, pengarungan sungai dan masih banyak lagi kegiatan yang menjadikan alam sebagai medianya.

Belakangan, berlahiran kelompok-kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai “Kelompok Pecinta Alam, (KPA)”. Namun, keberadaaan mereka belum mencirikan kejelasan arah gerak dan pola pengembangan kelompoknya. Jangankan mencitrakan kelompoknya sebagai pecinta alam, sebagai petualang pun tidak. Aktivitas mereka cenderung merupakan aksi-aksi spontanitas yang terdorong atau bahkan terseret oleh medan ego yang tinggi dan sekian image yang telah terlebih dulu dicitrakan oleh KPA-KPA lain, dengan demikian banyak diantara para “pencinta alam” itu cuma sebatas “gaya” yang menggunakan alam sebagai alat.

Pencinta alam dunia dengan gerakan enviromentalisme yang berjuang keras dalam menjaga keseimbangan alam ini patut kita contoh sebagai satu gerakan untuk masa depan, kini yang sering ditanyakan ketika kerusakan alam di negeri ini semakin parah dimanakah pencinta alam, begitupun dengan para petualang yang menggunakan alam sebagai medianya. Bahkan Tak jarang aktivitas mereka berakhir dengan terjadinya tindakan yang justru sangat menyimpang dari makna sebagai pecinta alam, misalkan terjadinya praktek-paktek vandalisme. Inilah sebenarnya yang harus di kembalikan tujuan dan arahnya sehingga jelas fungsi dan gerak merekapun bukan hanya sebagai ajang hura-hura belaka.

Sebuah harapan untuk mengembalikan keseimbangan alam ini supaya terhindar dari terputusnya sistem dalam kehidupan ini bukan tanggung jawab pencinta alam atau penggiat alam terbuka saja tapi tugas kita semua sebagai mahluk penghuni bumi dan dua arah yang berbeda dapat bersatu untuk menciptakan kelestarian alam ini khususnya lingkungan hidup.

Aktivis lingkungan hidup dunia dengan gerakan cinta lingkungannya akan lebih berarti tindakannya dengan dukungan dari para pencinta alam yang ada di negeri ini. Dalam perbedaan pola fikir dan arah gerak pencinta alam dengan penggiat alam terbuka terdapat kesamaan pula dengan media yang sama untuk itu bukanlah suatu kemustahilan keduanya bersatu untuk masa depan lingkungan hidup Indonesia sehingga terciptanya lingkungan hidup yang seimbang, stabil dan bermanfaat bagi kehidupan sekarang dan masa depan.

Sebuah peringatan kepada kemanusiaan yang diterbitkan oleh 1.575 ilmuwan dari enam puluh sembilan negara yan mengikuti Konverensi Rio tahun 1992 perlu kita ketahui sebagai sebuah awal penyadaran untuk lingkungan hidup ini.

“Peringatan ” itu berisi bahwa umat manusia dan alam berada pada arah yang bertabrakan. Kegiatan manusia mengakibatkan kerusakan besar pada lingkungan dan sumber daya yang sangat penting yang seringkali tidak dapat di pulihkan. Jika tidak dikaji, banyak dari kegiatan kita skang yang ini menempatkan masa depan pada keadaan yang sangat beresiko, sehingga kita menghadapi realitas masyarakat manusia dan alam tumbuhan dan hewan dan mungkin juga dunia tempat kita hidup ini berubah sedemikian rupa, sehingga tidak dapat lagi mendukung kehidupan menurut cara yan kita kenal. Perubahan fundamental adalah urgen jika kita ingin menghindarkan benturan dalam arah perjalanan kita yang sekarang ini terjadi.(” World scientist Warning to Humanity “) , Pernyataan siaran pers diterbitkan 18 November 1992 oleh The Union of Concerned Scientist.) “

Ancaman yang menempatkan alam dan penghuninya (manusia maupun bukan manusia) berada dalam bahaya ini patut kita ketahui bersama tentang konsekuensi dari berbagai kegiatan yang dilakukan oleh umat manusia sebagai penghuni bumi ini.

Enviromentalisme dan gerakan lingkungan

sebelum melangkah lebih jauh melihat gerakan lingkungan baiknya kita tinjau masalah lingkungan. Masalah masalah lingkungan hidup seringkali tidak menjadi prioritas yang tinggi dan seringkali menjadi sub agenda dengan demikian akhirnya larut dan tenggelam dalam tema-tema kampanye yang lebih luas dan abstrak. sementara itu gerakan lingkungan atau dsebut juga enviromentalisme yaitu suatu faham yang menempatkan lingkungan hidup sebagai pola dan arah gerakannya. Bagi sebagian pihak enviromentalisme mungkin asing karena enviromentalisme dianggap sebagai gerakan yang membahayakan orde pada waktu itu (orde baru) terutama dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan ekploitasi hutan. Organisasi non politik yang concern pada lingkungan pada masa itu pun di arahkan langsung oleh Emil Salim waktu itu menjabat Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup untuk tidak mengikuti taktik Green Peace ataupun The German Green yang bisa masuk mengkritisi setiap kebijakan pemerintah yang tidak memperhatikan dampak lingkungan hidup terhadap alam ataupun masyarakat.

Sedangkan gerakan lingkungan hidup menurut literatur sosiologi istilah “gerakan lingkungan hidup” digunakan dalam tiga pengertian yaitu pertama sebagai penggambaran perkembangan tingkah laku kolektif (collective behavior). Kedua, sebagai jaringan konflik-konflik dan interaksi politis seputar isu-isu lingkungan hidup dan isu-isu lain yang terkait. Ketiga, sebagai perwujudan dari perubahan opini publik dan nilai-nilai yang menyangkut lingkungan.

Di Indonesia istilah gerakan lingkungan hidup di pakai dalam konsorsium : “15 tahun Gerakan Lingkungan Hidup : Menuju Pembangunan Berwawasan Lingkungan”. Yang di selenggarakan oleh kantor Meneg Kependudukan Dan Lingkungan Hidup di Jakarta, 5 Juni 1972.

Denton E Morrison mengusulkan bahwa yang di sebutkan gerakan lingkungan hidup sesungguhnya terdiri dari 3 komponen yaitu komponen pertama, the organized or voluntary enviromental movement ( gerakan lingkungan yang terorganisir atau gerakan yang sukarela ) termasuk dalam kategori ini adalah organisasi lingkungan seperti Enviromental Devense Fund, Green Peace atau di Indonesia ada WALHI Jaringan Pelestarian Hutan “SKEPHI”. Komponen kedua, The public enviromental movement (gerakan lingkungan publik ) adalah khalayak ramai yang dengan sikap sehari-hari dalam tindakan dan kata-kata mereka menyatakan kesukaan mereka terhadap ekosistem tertentu, pola hidup tertentu serta flora dan fauna tertentu. Komponen ketiga The Institusional Enviromental Movement (gerakan lingkungan terlembaga ) ini sangat menentukan dalam negara negara berkembang dimana peranan negara sangat dominan dan peranan aparat-aparat birokrasi resmi mempunyai kewenangan hukum (yuridiksi) terhadap kebijakan umum tentang lingkungan hidup atau yang berkaitan dengan lingkungan hidup sebagai contoh di Amerika ada Badan Perlindungan Lingkungan ( EPA - Enviromental Protection Agency), Dinas Pertamanan Nasional ( National Park Service) padanannya di Indonesia adalah Kantor Meneg KLH, DEPHUT.

Komponen gerakan lingkungan terlembaga ini penting untuk di amati sendiri ambilah contoh keberhasilan EPA dalam mengendalikan polusi air dan udara misalnya di pengaruhi kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, kebijaksanaan luar negeri serta ketersediaan sumber-sumber energi

Hakikat gerakan lingkungan menurut Buttel dan Larson mempunyai beberapa manfaat, pertama struktur gerakan lingkungan di setiap negara yakni hubungan diantara tiga komponen itu bisa berbeda-beda dan ini membawa variasi yang cukup berarti di antara paham lingkungan (enviromentalism) negara-negara itu. Kedua, taktik dan ideologi gerakan lingkungan terorganisir di suatu negara dapat di lihat sebagai hasil interaksi diantara komponen - komponen kelas negara itu satu pihak, dan kelompok-kelompok kepentingan (interces group) dilain pihak.

Epilog

Perubahan paradigma dalam tubuh pencinta alam bukan sebuah kemustahilan untuk berubah dan seimbang dengan kegiatan kegiatan alam terbuka yang biasa di gelutinya. Tidak menutup kemungkinan sebuah gerakan radikal untuk masalah kesadaran lingkungan terwujud dalam satu koridor gerakan lingkungan karena masalah lingkungan adalah masalah bersama yang membutuhkan kerjasama dari setiap stake holder pelaku,pemerhati dan aktivis yang bergerak atasnama lingkungan

Dalam konteks gerakan lingkungan, maka tantangan semakin yang semakin besar di masa mendatang mengharuskan kita untuk melakukan reposisi gerakan lingkungan menjadi gerakan sosial, karena ini adalah satu-satunya jalan untuk menghadapi dominasi pasar dan globalisasi

** Iden Wildensyah, saat ini tercatat mahasiswa UPI Bandung aktif di KPALH Gandawesi serta relawan lingkungan di Bandung pernah menjadi peserta PEKA (pelatihan konservasi dan advokasi) PA region jawa di WALHI D.I.Y

sumber :

* George Junus Aditjondro,2003. Pola-pola Gerakan Lingkungan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
* Philif Shobecof,1998. Sebuah Nama Baru Untuk Perdamaian. Yayasan Obor Indonesia.Jakarta.
* soemarwotto, otto,2001, Ekologi,Lingkungan Hidup dan Pembangunan.Djambatan.Jakarta
* Jurnal WACANA Edisi12,Tahun III,2002 Lingkungan Versus Kapitalisme Global, penerbit INSIST Press
* Buletin Wanadri no 17, 2002
* Kalam Jabar, Republika Rabu 25 februari 2004.
* Habitat Newsletter KONUS Volume 03 no 02. Juni - September 2003
* Isola Magazine, media Unit Pers Mahasiswa UPI edisi I,Juli - September 2003

---

dikirim oleh : Agus 'Arsland' Prasetya

Go Green? What the hell does it mean?

Posted by tris tecno Kamis, 15 Mei 2008 0 komentar
All this fuss about global warming. Slogans saying “Go Green” turns up everywhere. Do we, especially us in Indonesia, know what it actually means? What it is to fuss about? I wonder…

I found a lifestyle magazine adding a “Go Green” logo next to its name, while the papers it uses are not even recycled papers. I read a sign on a furniture store that sells mostly wooden stuff saying “we only use environmentally friendly products”. I found a report in a newspaper that a government official in a small town was making this statement, “Our town doesn’t need to worry about greenhouse effects. We don’t have any buildings with many glass windows in this town.” WHAT? *…sigh…*

What the hell does “Go Green” actually mean?

Well, let’s start with global warming. All of this started with global warming. Ever since people all over the world started talking really seriously and loudly about it, Indonesia feels that we need to do that too… without really understanding what it is or why… As usual, we are obviously not a bunch of clever people… yet very ignorant and stubborn.

Let’s stop here. If you don’t feel like reading this long (yes, it’s gonna be very long) article, I suggest you find the movie “An Inconvenient Truth” or “Earth” and watch it. You’ll get the explanation about global warming without reading this. And you’ll save me from ever getting menacing text messages saying, “Still trying to save the world, huh?”

No, for your information, I’m not trying to save the world. I’m just trying with all my might not to become too stupid because my stupidity might end up hurting others. That’s all.

The Things We Can’t Live Without
Anyway…before I talk about global warming, let’s review a bit of elementary school science. You all know that the atmosphere covers the Earth, right? Please say you do… Please… Okay, if you don’t, the atmosphere is a thin layer of mixed gases which make up the air we breathe. Aaah… now you understand, right? *…praying that you do…*

This thin layer also helps the Earth from becoming too hot or too cold, much like clothing does for us. So global warming is not actually a new concept. It has been happening for millions of years. And it’s actually a good thing because the Earth needs to be warm enough to sustain life. Yes, including our lives. How does this thin layer keep the Earth warm? The mixed gases that I told you about, the ones that make up the atmosphere, are actually what we now know as the greenhouse gases. Some of these gases occur in nature, such as water vapor, carbon dioxide, methane and nitrous oxide, while others are entirely human-made… you know, like the aerosols from the hairspray that we girls like to use to look cool for a weekend afternoon at the mall and the carbon dioxide from the cars we depend on to get places and from many other human-made sources. BUT THOSE ARE THE THINGS I CAN’T LIVE WITHOUT!!! Beauty products, car, air conditioner, airplane… AARRRGGHH!!! Okay, calm down. We’ll get to that soon.

The greenhouse gases are not the villains here. That must be clear from the start. These gases allow sunlight to enter the atmosphere freely. When sunlight strikes the Earth’s surface, some of it is reflected back towards space as infrared radiation. Greenhouse gases absorb some of this radiation and trap the heat in the atmosphere. Over time, the amount of energy sent from the sun to the Earth’s surface should be about the same as the amount of energy radiated back into space, leaving the temperature of the Earth’s surface roughly constant. And that’s exactly what we need. A constant temperature.

For millions of years, the Earth had succeeded in keeping the temperature just at the right level to let us live and grow and work and have fun and have sex and have babies and die. Our children then repeat that wonderful life cycle on Earth. Everything was pretty much under control… until around 150 years ago, when large-scale industrialization began.

My Wonderful Lifestyle
Now let’s not lie. The results of industrialization are mostly wonderful for us human beings. Because of it, we enjoy technology advances, better and longer living expectancy, easier and cheaper ways to travel and a level of comfort unimaginable before. I myself thank God everyday that I get to live in the era of electricity and technology, and I get to witness so many great inventions that now I can’t live without either. Namely my cell phone, my laptop, my car, my TV and the internet. Not to mention the things that define my “comfort zone”. They are the air conditioners in my house, in my car, at work and almost everywhere I go in my crazy town of Jakarta, my microwave oven, my toaster, my fridge, hair and beauty products, clothes and shoes, accessories, numerous books and magazines, cigarettes, good food, good wine, good beer, other alcoholic beverages and so many more! Oh, let’s not forget those feminine napkins that allow us women to annoy the hell out of you men with our PMS because we don’t have to worry about washing our undies anymore. We simply use a napkin, then dispose it. Ah, thank God for that.

Yes, yes… wonderful… all wonderful… just fantastic. I love my lifestyle.

But you see, we have been way too comfortable. While it is wonderful to have such lifestyle, and you’re gonna have to kill me to give it up, we forget that the more we consume, the more we need to conserve. Let me repeat this point. This is very important. Especially since I myself, like most of you, is a self-indulgent, pleasure-seeking and materialistic being. CONSERVATION DOES NOT MEAN LESS CONSUMPTION.

BUT… before you feel too happy for not having to give up anything, listen to this first.

Stuff We Need To Breathe
Better and longer living expectancy means exponential increase in human population. There are now so many people on Planet Earth with whom we need to share our natural resources with. Oxygen, water, food, land and so on. While technology advances mean we now have all those wonderful things I mentioned. You follow this? Lots of people. Lots of wonderful things. Everyone wants everything. Everyone wants to make lots of money in order to own an air-conditioned house, a car, a fridge and etcetera.

But many of these wonderful things that we want and can’t live without, emit carbon dioxide, bringing its concentration in our thin atmosphere to a dangerous level. The petrol for our car. The fuel for the airplanes that we get on frequently. The woods, the coal, the air conditioners. And many of these wonderful things were also created from elements in nature that we actually need to protect us!

Instead, we destroy them to create space for us to live, work, study and hangout. We destroy them to produce the things that make our lives comfortable and convenient. And we destroy them some more to make more money and have more wonderful things.

Never for a second that we think about this. Those trees that we cut down to create space and to produce things, have the power to absorb carbon and without protest transforming it into oxygen. Oh wow, that’s the stuff we need to breathe! Exactly.

Producing oxygen and being a carbon sink aren’t the only things the trees are good at. They also prevent soil erosion and thus give us a natural flood barrier. They help regulate our climate too. So they are the most effective weapons to fight global warming.

But guess what? In Indonesia, forests the size of six soccer fields are gone every minute. Yes, you heard me right. EVERY MINUTE. That’s SIX SOCCER FIELDS. Not every year, not every month, not every week, not even every day. But EVERY MINUTE. For what? Yup, for all those things we can’t live without.

The Water World
I have just been talking about the trees. I haven’t even mentioned the oceans. Oceans cover about 70 percent of Earth's surface. Their large mass and thermal properties, enable them to store vast quantities of heat. Oceans, just like the trees, also buffer and regulate temperature. The atmosphere and ocean constantly exchange energy and matter. For example, water evaporates from the oceans into the atmosphere. This moisture then falls back to the Earth as rain, snow, sleet and even the morning dew on the grass.

But guess what? In Indonesia, the largest archipelago in the world, a maritime country that once supposedly always triumphed at sea, totally SUCK at protecting our oceans. Only 40 percent of our reefs remain pristine. And more and more are destroyed every day. Fish bombing, cyanide fishing, over fishing and loads of other problems. Not to mention the other important marine ecosystems that we also destroy, such as mangroves and sea-grass beds. For what? Yup, for all those things we can’t live without.

While the land covers 27 percent of Earth’s surface, now I also have to mention about ice, which is the world’s largest supply of freshwater, covering the remaining 3 percent of Earth’s surface, including most of Antarctica and Greenland. Because ice is highly reflective and because of its insulating properties, ice plays an important role in regulating our climate. And the world’s ice is melting at an alarming rate. Why? Yup, because of global warming, because we insist to have all those things we can’t live without and yet fail to do it wisely.

Animals and Us
And of course there is the animal kingdom, on land and at sea. To some of you, they are probably just… animals. Some are cute, some are yummy, some are vicious and some are simply disgusting. But what we almost always fail to realize is that how our lives are dependent on them. Their existence determines our own survival. Their health determines our own wellbeing. Their behavior determines our opportunity. Every single change in their existence, health and behavior pattern thus determines our own future. Here are a few simple examples.

Orangutans, the largest arboreal animals in the world, are our closest living “relatives” in the animal kingdom. In the (few remaining) tropical jungles of Sumatera and Kalimantan, orangutans spend 99 percent of their time in trees. Their diet consists primarily of fruit but they also eat leaves, flowers, bark and insects such as termites and larvae. Cute, just cute creatures. But these cute creatures have very important functions in the forest. They spread seeds through their feces and by spitting out the seeds of the fruits they eat, which will then germinate and maintain diversity in the rainforest. In fact, their seed dispersing activities are vital to maintaining the ecosystem, which in turn is also needed to establish a long-term sustainable forest-related industry that we need to indulge ourselves with the wonderful things we can’t live without.

Sadly, orangutan population in Sumatera and Kalimantan has decreased by almost 50 percent in only the past six years! Irresponsible logging, insensitive wildlife trade and rampant hunting are all to blame. Consequently, less and less of them are available to offer their services to us. We can no longer easily take advantage of their seed dispersing activities to scatter and sow the seeds of durian trees, palm trees, cinnamon trees and many other trees that actually have high economic values for us. So orangutans’ existence, health and seed dispersing behavior are essential in determining whether or not we can still have and enjoy various forest-related products we love so much.

Our Ocean Earth
Do you love seafood? I LOOOVE SEAFOOD. Where do you think seafood come from? From the sea, you idiot! Well, yes… they’re from the sea. But do they just exist in the sea forever and ever? They’re just there. They’re always available. NO. Just like in the forest, there’s life cycle in the ocean too. If the delicate balance of that life cycle is disrupted or disturbed in any way, we may lose the joy of eating one or two types (or all) of seafood.

Life at sea depends on the wellbeing of mainly three ecosystems. The coral reefs, the mangroves and the sea-grass beds. To keep consistent with the previous subtitle “Animals and Us”, I’m going to focus on just the coral reefs. Why? Because here’s something that’s probably a brand new knowledge for most of you: coral reefs are ANIMALS. They may look like an elaborate cluster of colorful and artsy rocks under the sea, but they are actually animals. Living, breathing, breeding animals. They live in colonies. So one shape of coral may consist of hundreds or thousands or even millions of these creatures.

These living, breathing and breeding animals provide a beautiful and colorful empire for marine creatures all over the world, big and small, visible and invisible, pretty and ugly. For marine creatures, coral reefs are a nursery where they eat, find mates, make love, have babies or simply find a safe little corner to rest and sleep. Even humpback whales would endure an epic 4,000-mile journey to reach the clear, safe and warm waters of the tropics just to have their babies, before returning to the forever cold and rough ocean of Antarctica. So the reefs are where life begins at sea. Without them… well, there will be no seafood. Ever.

That’s the simplest explanation about reefs. Of course there are other functions of the reefs that are also very important. But I know you would find it a lot easier to understand when it relates to food. So I’m not going to get too technical and scientific by explaining the other functions. I just want you to realize how important it is to protect and conserve our reefs, if you still want to enjoy seafood. And get this, about 75 percent of the world’s coral species live in the waters of INDONESIA. Our once pristine tropical waters are at THE HEART OF THE CORAL TRIANGLE. The richest waters in the world. Yes, our waters. Our oceans. Our seas. Yes, the ones that we pollute, the ones that we bomb, the ones that we spray with cyanide, the ones that we exploit greedily with total disregard for the future. Well then, our grandchildren may never know what seafood is anymore…

We have forgotten that water is the most essential element in our lives. We have taken it for granted. We have forgotten that water is THE ONLY THING that keeps us together. While the lands are separated by thousands of miles. The seas are all connected under the great blue sky. The seas keep us connected as one planet. Planet Earth. Our Ocean Earth.

The Rubbish Country
I have yet to mention about the by-products of our lifestyle, namely rubbish. Lots and lots of rubbish. Inorganic, non-biodegradable rubbish that the Earth do not know what to do with. You know, the various types and brands of containers, bottles and other creative packaging for our liquid soap, shampoo, detergent, cosmetics and even condoms. Zillions of things are made of plastic. Zillions…

“But…,” you protest, “I don’t throw my rubbish everywhere. I always throw them in a dedicated rubbish bin.” Well, that’s good. At least you have played a part in keeping our environment clean. However, I have to tell you that that’s not enough. Especially in this country, it’s definitely not enough.

First, there are still MANY, MANY of you in this country who still throw rubbish everywhere. Mineral water bottles, food wraps, cigarette boxes, cigarette buds and many other types of packaging are EVERYWHERE. If you can read this, I’m sure you’re not blind. I’m sure you’ve seen the garbage EVERYWHERE. On land, in the river and in the sea. On the streets, in the cities, in the remotest villages. They are EVERYWHERE. To make matters worse, the ever-stupid Indonesian government so far does not have a waste management system to process our rubbish wisely. No rules and regulations. No law. Or at least none that’s being enforced.

And so it is up to us, it is up to each individual in this country, to make an effort to reduce our own rubbish and sort out our own rubbish. The biodegradable ones can go back to Earth as composts. The rest MUST BE RECYCLED.

You get the big picture by now, right? Basically, we are in deep shit…

The Conspiracy Theory
There is such a lack of concern about global warming… I have to ask what it would take to set off the alarm bells to make this a top-of-mind priority. I’ve even heard that some people actually think that this whole global warming fuss is a conspiracy. It’s a trick created by well-developed Western countries to control us in the east. WHAT?!!

Fist of all, for those of you who are so anti-western-civilization, please take this quiz. Count how many things in your house that have western brands. Count how many things in your office that have western brands. Count how many restaurants and fast food places where you sometimes eat or drink that have western brands. Done? Now count how many ideas or solutions that you have in your brain to help us avoid using western brands and still have the qualities and services we seek for. None? Zero? Okay, just count how many things you actually have in your brain. Still nothing? Zero? No wonder…

Secondly, Indonesia is in the Guinness Book of Record. No, not for a great achievement, but for an achievement after all. We are in the Guinness Book of Record for being the number one country with the fastest rate of deforestation. It doesn’t take a genius to see that WE ARE the number one country causing global warming. You know that a human body has two lungs? So does Earth. One is our forests. The other is the Amazon’s forests. By destroying our forests, we have amputated one of the Earth’s lungs. Fewer forests, less oxygen, more carbon, more heat, you’re dead. Get it? GLOBAL WARMING IS NOT A TRICK! IT IS NOT A CONSPIRACY! It’s happening and it’s happening NOW! Recent natural disasters and weird diseases in the world are the proofs. How stupid can you be?

Conservation ≠ Less Consumption
So after knowing that we are in deep shit, I really hope… Dear God, Dear Father, I REALLY HOPE… that you show a little more concern and act accordingly. I’m actually hoping that you would fall in love with Planet Earth, but I would be happy enough if you at least make every little change that you can in your lifestyle in order to save our forests, to save our oceans, to save our flora and fauna, to save us, to save Earth.

Remember, conservation does not mean less consumption. I’m NOT telling you to stop eating this and that. Stop using this and that. I’m just asking you to be wiser and smarter. If you want to keep the lifestyle that you have and enjoy, be aware of the environmental impacts that you’re causing. And be ready to manage those impacts in the smartest and most environmentally friendly manners as possible. Remember, you’re not the only one who would like to have a certain lifestyle. You’re sharing this Earth with billions of other living beings, humans and non-humans, who also have the right to live. And lastly, you need to remember that your children, grandchildren and great-grandchildren will still need to continue this life after you’re gone. They will need a healthy Earth too. Please don’t make them pay the consequences for the horrible things we choose to do today.

Now, let’s go back to the term “Go Green”. If conserving doesn’t equal less consumption, how do we “Go Green”? This is how.

1. Count Your Carbon Footprint
Count the amount of carbon you produce based on your lifestyle. Calculating your carbon footprint is not hard. There are hundreds of websites that offer calculators and some even offer ways to offset your sins. Kind of like the church or the mosque. It’s neutral and it’s up to you to make the difference. According to calculator and based on my own hedonistic lifestyle, I owe Mother Earth 4 trees. How about you?

Try one of these websites:
- http://www.wwf.or.id/cfootprint/?l=id (this is a great one for Indonesians)
- http://www.conservation.org/act/live_green/carboncalc/Pages/default.aspx
- http://www.econeutral.com/carboncalculator.html
- http://www.nature.org/initiatives/climatechange/calculator/

2. Offset Your Carbon Footprint
Once you know the amount of carbon you produce (it’s a LOT, isn’t it?), now all you have to do is offset it. You know, make it zero. Balance it out. You can achieve this by planting trees (the number of trees you need to plant will depend on the amount of your personal carbon footprint) or by donating money to a conservation organization and let them save the environment for you.
3. Reduce, Reuse, Recycle!
Then make a pledge to Mother Earth to love and protect it by changing your habits. Yes, you can still shop ‘til you drop, but don’t accept any plastic bags from the stores. Bring your own reusable shopping bags. Recycle and reuse as much as you can. Save energy. Use environmentally friendly products. Use both sides of the papers to print stuff. Don’t buy pre-paid vouchers to refill credits of your cell phone provider. Use electronic refill instead. Reduce your garbage. Separate biodegradable garbage and non-biodegradable ones. REDUCE, REUSE, RECYCLE!

There are many websites where you can find how to make your life more green without sacrificing too much of your lifestyle. But nonetheless, a sacrifice is a must if you love someone or something, right? I just hope you love Earth enough to make that sacrifice. A small one to save this lovely Planet. The ONLY home that we know and have. And to save this beautiful jewel of the equator. The lung of the world. The heart of the coral triangle. The largest archipelago in the world. INDONESIA.

Then the term “Go Green” will make sense. Then you can say, “I AM GREEN.”

No, I’m not trying to save the world. I’m just trying not to be stupid because my stupidity could hurt and kill others, including my loved ones and the ones that aren’t born yet…

Happy Earth Day 2008, Mother Earth! I’m your daughter and I love you… © Rini Sucahyo


copy and paste from here, by Rini Sucahyo.

Kita Hemat = Bumi Sehat

Posted by tris tecno Sabtu, 10 Mei 2008 0 komentar
Mengendarai mobil sejauh 1.003.200 kilometer atau sama dengan 25 kali mengelilingi dunia akan menghabiskan bahan bakar sebanyak 3 truk tangki. Padahal, untuk memproduksi 3 liter bensin saja kita membutuhkan 18 liter air. Nah, bisa dibayangkan berapa banyak air yang dibutuhkan untuk membuat 3 tangki bensin?

Kita bisa menghemat penggunaan air sampai 15 liter sehari hanya dengan mematikan keran setiap kali kita menyikat gigi. Jangan biarkan keran air mengalir kalau tidak dipakai. Air yang mengalir dari keran mencapai kira-kira 9 liter setiap menitnya. Sedangkan ada sekitar 50% populasi dunia yang mengalami kesulitan akses mendapatkan air bersih untuk sanitasi, minum dan kebutuhan sehari-hari lainnya.

Setiap kali mem-flush toilet, kita menggunakan air bersih sebanyak 6-10 liter. Kalikan jumlahnya dengan banyaknya kita ke kamar mandi dan jumlah anggota keluarga di rumah, yang paling nggak ada 4-5 orang. Hasilnya adalah penggunaan air bersih sebanyak 100-100 liter setiap harinya!

Pemakaian listrik dalam rumah tangga di Indonesia pada kelas paling umum berdaya 2200 watt. Pemakaian listrik sebesar 1 KwH menghabiskan Rp 390,-. Pemakaian kulkas kulkas berdaya 100 watt dan komputer berdaya 400 watt selama 1 jam, akan menghabiskan listrik sebanyak 0,5 KwH dengan biaya Rp 190,- per jamnya. Bila dinyalakan kurang lebih 10 jam setiap harinya maka memakan biaya sekitar Rp 1900,-. Dalam sebulan biaya yang harus dibayarkan adalah sekitar Rp 57.000,- hanya untuk dua alat listrik saja!

Pensosialisasian penggunaan Lampu Hemat Energi oleh PLN sebanyak 50 juta buah, dimana tiap rumah mendapatkan satu buah, dapat membantu PLN. Penggantian satu lampu pijar biasa dengan LHE akan menghemat 2,4 juta MwH pertahun!

Selain menghemat listrik, penggunaan LHE juga akan menghemat BBM kita. Karena, untuk menghasilkan daya listrik 1KwH dibutuhkan 0,35 liter bahan bakar minyak. Maka, penghematan listrik 2,4 juta MwH itu bisa menghemat BBM sebanyak 811,38 juta liter pertahun. Dengan penghematan BBM sebanyak ini sama dengan menghemat biaya sebesar Rp 2,8 triliun per tahun. Angka yang fantastis ya!

Menggunakan kereta listrik sebagai sarana transportasi umum utama dapat menghemat penggunaan BBM dalam jumlah besar. Dalam sehari sekitar 156 kereta listrik beroperasi di wilayah Jabodetabek, dengan kapasitas angkut rata-rata 1610 penumpang tiap kereta. Bisa dibayangkan kan, betapa banyak BBM yang bisa dihemat dengan penggantian alat transportasi dari mobil ke kereta ini.

sumber : Gadis No.12 XXXV.

Dampak Pemanasan Global Terhadap Kehidupan

Posted by tris tecno Sabtu, 03 Mei 2008 0 komentar
Pemanasan global merupakan permasalahan dunia yang dirasakan oleh semua negara di dunia, baik negara miskin, negara yang sedang berkembang, maupun negara-negara maju. Pemanasan global yang ditunjukan dengan adanya kenaikan suhu di permukaan laut dapat menyebabkan terjadinya bencana bagi bumi.

Para ilmuwan memprediksi bahwa temperatur dunia rata-rata mengalami kenaikan 0,5 derajat celcius setiap tahun. Kenaikan suhu tersebut meningkatkan evaporasi sehingga hujan turun lebih banyak seperti di daerah tropis, sedangkan daerah beriklim sedang akan mengalami musim panas dan kering yang lebih lama serta musim dingin yang lebih pendek.

Secara umum, akibat yang ditimbulkan pleh adanya pemanasan global ada dua, yaitu terjadinya perubahan iklim global dan naiknya permukaan laut
hahhahhah



sumber : buku Geografi kelas 10.

Tiga juta hektar hutan Riau hilang !!!

Posted by tris tecno 0 komentar
Sekitar tiga juta hektar luas hutan alam Riau tergerus pada tahun 1984-2005. Penurunan luas hutan alam mencapai 840.000 hektar, pada tahun 1999-2005. Rata-rata per tahun 150.000 hektar hutan alam Riau hilang. Kini kondisi lingkungan alam di Riau menunjukkan kehancuran ekstrim.

Data dari Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menunjukkan hal tersebut, namun sepanjang tahun 2005 tidak ada perbaikan perilaku masyarakat dan pemerintah daerah untuk penyelamatan hutan. Kini hutan alam hanya tersisa 650.000 hektar (ha).

"Sesuai ketentuan UU Kehutanan No 41 Tahun 1999, tutupan hutan harus seluas 30 persen total daratan, dibagi-bagi untuk keperluan lain seperti industri dan pemukiman. Diakui, sekarang yang benar-benar hutan alam kurang dari 700.000 hektar", Kata Kepala Dinas Kehutanan Riau, Burhanuddin beberapa waktu lalu.

Eksploitasi terbesar dilakukan di sektor alih fungsi hutan alam menjadi areal industri.

Hutan alam Riau dari analisis Jikalahari, 789.703 hektar hutan alam di tahun 2004 sudah dikuasai dua grup perusahaan bubur kertas, yaitu Asia Pasific Resources International Ltd (APRIL) induk PT Riau Andalan Pulp and Papper (RAPP) dan Asia Pulp and Papper (APP) induk PT Indah Kiat Pulp and Papper (IKPP).

Seluas 390.471 hektar lainnya dikuasai perusahaan perkebunan, terutama komoditas kelapa sawit. Adapun 834.249 hektar hutan alam dikuasai pemegang hak pengusahaan hutan (HPH). Aktivitas penebangan liar menyeruak di tengah-tengah semua jenis usaha eksploitasi hutan alam tersebut.

Perubahan dari hutan dalam heterogen menjadi HTI dan perkebunan homogen memengaruhi keseimbangan lingkungan. Krisis air akut mulai dirasakan di Riau dan Sumatra dan diperkirakan memuncak pada tahun 2020.

Sementara itu, 16.200 ha (85 persen) dari 18.000 ha lahan reboisasi melalui Gerakan Rehabilitasi Lahan (Gerhan) 2004 Sumatra Selatan diperkirakan rusak karena tidak terpelihara.

Tidak turunnya anggaran pemeliharaan 2005 membuat perawatan tak berjalan. Menurut Kepala Dinas Kehutanan Sumsel Dodi Priyadi, Senin di Palembang, tanaman itu butuh penyiraman dan pemupukan untuk beradaptasi dengan lahan kritis tampat penanaman.



sumber : buku biologi kelas 10, Litbang Kompas diolah dari Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau.
Ping your blog, website, or RSS feed for Free