Hutan Wehea Terancam
Sabtu, 17 Desember 2011
0
komentar
Hutan Wehea seluas 38.000 hektar di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, yang menjadi habitat bagi orangutan dan menyimpan kekayaan flora fauna terancam keselamatannya. Alasannya, kawasan itu masih berstatus hutan produksi sehingga berpotensi dirambah.
"Jika statusnya belum juga diubah menjadi hutan lindung makan terbuka kemungkinan terbitnya izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHK) di kawasan tersebut", kata Kepala Dinas Kehutanan Kutai Timur Ordiansyah di Sangatta. Usulan perubahan status hutan disampaikan kepada Kementrian Kehutanan sejak 2007, tetapi belum terwujud.
Hutan Wehea memiliki peran penting. Selain menjadi habitat orangutan, juga berisi ratusan flora dan fauna didalamnya, serta berfungsi sebagai daerah tangkapan air bagi Sungai Wahau.
Saat menyusuri hutan Wehea, hutan masih asri dan terhampar hijau. Sarang orangutan dan jejak macan dahan pun dengan mudah ditemui di dalam hutan. Untuk itu, menurut Ordiansyah sudah selayaknya hutan ini dijadikan hutan lindung sehingga keberadaannya tidak terganggu. Selain dari Pemkab Kutai Timur, desakan penetapan Wehea sebagai hutan lindung juga mucul dari masyarakat adat Wehea dan pihak Universitas Mulawarman.
Bupati Kutai Timur (saat itu Awang Faroek Ishak) telah mengirimkan surat ke Kementrian Kehutanan pada 5 Juli 2007, yang berisi usulan penetapan Wehea sebagai hutan lindung. Usulan itu tidak juga direspon sehingga Bupati Isran Noor yang menjabat saat ini mengusulkan kembali perubahan status. "Kita belum pernah mendapat jawaban apakah usulan itu disetujui atau sebagian saja yang disetujui. Kita belum tahu", kata Ordiansyah.
Selama ini, Wehea dikelola masyarakat adat Dayak Wehea di Desa Nehas Liah Bing. Sejak 2004, mereka menetapkan hukum adat untuk melindungi hutan itu dari ancaman perambahan dan perburuan satwa. "Hutan ini jadi lumbung kehidupan bagi kami. Jika hutan habis maka desa ini terancam", kata Kepala Adat Nehas Liah Bing, Ledjie Taq. Setelah hukum adat, dibentuk badan pengelola hutan Wehea dan penjaga hutan.
"Jika statusnya belum juga diubah menjadi hutan lindung makan terbuka kemungkinan terbitnya izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHK) di kawasan tersebut", kata Kepala Dinas Kehutanan Kutai Timur Ordiansyah di Sangatta. Usulan perubahan status hutan disampaikan kepada Kementrian Kehutanan sejak 2007, tetapi belum terwujud.
Hutan Wehea memiliki peran penting. Selain menjadi habitat orangutan, juga berisi ratusan flora dan fauna didalamnya, serta berfungsi sebagai daerah tangkapan air bagi Sungai Wahau.
Saat menyusuri hutan Wehea, hutan masih asri dan terhampar hijau. Sarang orangutan dan jejak macan dahan pun dengan mudah ditemui di dalam hutan. Untuk itu, menurut Ordiansyah sudah selayaknya hutan ini dijadikan hutan lindung sehingga keberadaannya tidak terganggu. Selain dari Pemkab Kutai Timur, desakan penetapan Wehea sebagai hutan lindung juga mucul dari masyarakat adat Wehea dan pihak Universitas Mulawarman.
Bupati Kutai Timur (saat itu Awang Faroek Ishak) telah mengirimkan surat ke Kementrian Kehutanan pada 5 Juli 2007, yang berisi usulan penetapan Wehea sebagai hutan lindung. Usulan itu tidak juga direspon sehingga Bupati Isran Noor yang menjabat saat ini mengusulkan kembali perubahan status. "Kita belum pernah mendapat jawaban apakah usulan itu disetujui atau sebagian saja yang disetujui. Kita belum tahu", kata Ordiansyah.
Selama ini, Wehea dikelola masyarakat adat Dayak Wehea di Desa Nehas Liah Bing. Sejak 2004, mereka menetapkan hukum adat untuk melindungi hutan itu dari ancaman perambahan dan perburuan satwa. "Hutan ini jadi lumbung kehidupan bagi kami. Jika hutan habis maka desa ini terancam", kata Kepala Adat Nehas Liah Bing, Ledjie Taq. Setelah hukum adat, dibentuk badan pengelola hutan Wehea dan penjaga hutan.